Mendudukkan Komik sebagai Objek Kajian Ilmiah Dalam khazanah budaya populer, komik seakan tersia-sia. Sebagai media naratif, komik kerap disepelekan karena dianggap bercita-rasa rendah, tidak mendidik, dan bernilai. Dulu komik bahkan pernah menjadi musuh masyarakat. Sementara, dalam ranah akademis, komik tidak dipandang sebagai objek kajian kultural yang bermakna. Perlakuan diskriminatif itu membuat sejumlah makna yang terkandung di dalam sekian banyak komik yang baik, terabaikan.
Buku Si Jampang Jago Betawi; Kajian Tokoh dalam Komik Ganes TH (2015) yang semula adalah tesis Paul Heru Wibowo di Program Pascasarjana Seni Urban dan Industri IKJ pada 2013 ini mencoba mendudukkan komik sebagai objek kajian ilmiah yang layak ditelaah secara serius. Ada bedahan ketokohan dan maskulinitas tokoh Si Jampang sebagaimana ditampilkan dalam komik Jampang Jago Betawi karya Ganes Thiar Santosa alias Ganes TH (1935-1995). Jampang, tokoh lain dari Betawi, selain Pitung. Sosok lekat dengan pemeo “kumis melintang dada berbulu” ini kerap digambarkan sebagai jawara silat berilmu tinggi yang suka menolong orang lemah dan tertindas. Ganes mendasarkan komik Jampang Jago Betawi pada dua teks: cerita silat bersambung karya Zaidin Wahab pertengahan 1960-an dan cerita rakyat yang kerap dimainkan teater Lenong. Kedua teks menceritakan sepak terjang Jampang melawan tuan tanah dan Belanda awal abad ke-20. Meski begitu, komik Ganes ini bukanlah sekadar saduran atau penulisan ulang dari kedua sumber tersebut. Komik bisa disebut karya otonom karena disampaikan dalam media berbeda serta memiliki penokohan, sekuens naratif, dan kontekstualisasi makna berbeda pula. Komik Jampang Jago Betawi karya Ganes berlatar masyarakat Betawi di sekitar Cengkareng pada 1900-an. Dengan teliti Ganes yang lebih dikenal melalui komik serial Si Buta dari Gua Hantu menampilkan keberagaman etnik dan perbedaan stratifikasi sosial yang sejak lama mengisi kehidupan Betawi. Di antaranya lewat tokoh- tokoh semacam opas kompeni, ulama, bangsawan, pedagang Tiongkok, rakyat jelata, dan centeng. Komik Jampang Jago Betawi dicetak pertama 1968 dan kelak menjadi dasar film Jampang (1989) yang dibintangi Barry Prima. Pada 2006 komik dicetak ulang (remaster) pertama oleh penerbit Pustaka Satria Sejati. Pada 2010 dicetak lagi sebagai newmaster. Komik ini harta berharga karena unik dan tokohnya tumbuh dalam budaya patriarkis. Karakter tokohnya erat dengan kejantanan, keperkasaan, keberanian, dan keteguhan hati seperti dalam komik-komik silat. Ada inovasi tokoh lewat penafsiran baru terhadap musuh Jampang, Raisan yang bertubuh superhero ganteng, gagah, tapi jahat. Ganes juga melakukan kontekstualisasi terhadap profil visual Jampang dan Raisan. Wajah keduanya merupakan intertekstualitas profil visual para bintang film Hollywood. Sementara, dari aspek naratologi, Ganes terpengaruh estetika film koboi Italia (spaghetti western) dan film Samurai Jepang. Salah satunya penggunaan antiklimaks dalam pengisahan sehingga akhir cerita tampak dramatis dan menyisakan ruang renung bagi pembaca. Hingga kini, salah satu buku telaah tentang komik Indonesia yang menjadi acuan adalah karya peneliti Prancis, Marcel Bonneff, yakni Komik Indonesia (1998). Ini diterjemahkan dari buku Les Bandes Desinees Indonesiennes (1976). Sementara, buku relatif baru sangat jarang, termasuk disertasi Seno Gumira Ajidarma yang diterbitkan sebagai Panji Tengkorak; Kebudayaan dalam Perbincangan (2011). Maka, buku ini layak diapresiasi karena memperkaya khazanah telaah komik Indonesia yang bisa dibilang langka, terutama dari peneliti lokal. (Anton Kurnia) , Paul Heru Wibowo (2015), "Si Jampang Jago Betawi; Kajian Tokoh dalam Komik Ganes TH", Kompas, 978-979-709-92-20 : 229 Halaman.
|