Rahasia Jokowi Bisa Menjadi Media Darling Dalam beberapa waktu ini tidak ada tokoh yang menjadi bahan perbincangan yang melebihi Jokowi. Sejak kemunculannya saat memimpin Solo dan DKI hingga akhirnya resmi menjadi orang nomor satu di negeri ini untuk periode 2014-2019, sosok dan kiprahnya selalu menjadi berita hangat, baik di media massa, elektronik, hingga media sosial. Bagi penulis yang notabene seorang praktisi public relation, fenomena tersebut mengundang pertanyaan besar mendasar yang menarik untuk dijabarkan, yakni mengapa bisa menjadi media darling? Beberapa pihak menganggap Jokowi bisa disukai media sebab kemampuannya “membeli” media. Bisa saja anggapan itu benar, tapi secara logika terlalu dangkal dan naif. Dan, lewat buku ini penulis menolak itu. Bagi orang yang berprofesi sebagaimana penulis, Jokowi bisa dikatakan suatu role model dalam melakukan branding “produk”. Ia telah mampu menciptakan konsumen hingga tahapan tertinggi, yakni advocate dimana konsumen tidak sekedar aware, appeal, ask, dan act, tetapi juga menjadi pembela ketika “produk” yang digandrungi, dicela atau diasosiasikan negatif. Keberhasilan Jokowi menjadi media darling tidak lepas dari beberapa modal yang ia miliki. Pertama, bahasa tubuh Jokowi yang akrab berhadapan dengan media. Jokowi, dan tentu tim di belakangnya, memahami semiotika gambar (hal. 6). Kedua, ia pandai menggunakan kekuatan visual. Ia bisa membangun moment yang bersifat eye-catching sehingga menimbulkan getaran bagi yang melihatnya. Getaran inilah yang membuat ia selalu diingat oleh yang melihatnya. Ada getaran, ada ingatan. (hal. 13). Ambil contoh saat Jokowi menyatakan kesiapannya untuk dicalonkan menjadi presiden oleh PDI. Uniknya, pernyataan itu disampaikan di depan rumah Si Pitung di Marunda waktu ia blusukan ke sana. Di sana, ia menyatakan, "Dengan mengucapkan bismillahir-rahmanir-rakhim, saya siap melaksanakanya.” Setelah itu, Jokowi mencium bendera Merah Putih yang ada di tempat itu. Esoknya media menempatkan foto ini sebagai berita utama. Melihat foto itu, sekilas biasa tapi menimbulkan kesan konotatif yang luar biasa dan berdampak luas. Pesan konotatif ini lahir dari teks yang menyertainya, yang menjelaskan peristiwa foto itu diambil. Penulis menangkap bahwa dengan mencium bendera, Jokowi telah menyediakan segenap jiwa raganya untuk negara (hal. 11). Poin ketiga Jokowi bisa menjadi media darling adalah keterbukaannya terhadap fotografer. Ia mau diatur oleh mereka untuk menghasilkan foto yang bernilai. Tentu saja dalam batas-batas tertentu. Misalnya saja, demi wartawan, saat Solo Batik Carnival, Jokowi bersedia mengenakan salah satu kostum karnaval itu sebagai preview berita. Hal ini tidak lazim dan sangat langka ada pejabat yang mau “diatur” macam itu. Dan, akhirnya Jokowi juga memetik keuntungan dari sikapnya ini (hal. 18). Sikap terbuka pada media juga menunjukkan bahwa ia telah mendudukkan media sebagai mitra. Media adalah rekan kerja, sehingga tak ada yang perlu ditutup-tutupi di depannya. Saking dekatnya dengan media, ia bahkan tak segan untuk membagikan urusan pribadi atau hobi di depan media (hal. 24-27). Meski begitu, Jokowi tidak suka mengumbar pernyataan yang tak perlu. Ia sangat paham bagaimana harus memberi pernyataan yang langsung bisa ditangkap media. Ini poin penting untuk menjadi media darling. Karena itu, media tak merasa rugi menunggu lama-lama untuk seorang Jokowi (hal. 30). Selain poin-poin di atas, Jokowi memang memiliki beberapa kekuatan yang saling terkait, diantaranya mudah dihubungi media, jujur dalam sikap dan pernyataannya, sangat empati pada awak media, tidak suka berpolemik, dan ia begitu lihai menempatkan diri di depan media. Nah, untuk dapat menjadi sosok yang disukai media, sekiranya tak salah bila kita berkaca pada Jokowi. Tentu tidak harus meniru beliau, tapi cukup menyerap darinya dan menerapkan pada diri kita. Pelajaran penting tersebut antara lain adalah menempatkan media sebagai relasi. Bukan sekedar hubungan profesi, tetapi juga memperlihatkan hubungan yang saling membutuhkan. Hubungan tersebut harus dibangun dari dua poin; hubungan kerja dan hubungan personal (hal. 162). Oleh karena itu, harus mengindari sikap arogan, senantiasa jujur, dan senantiasa berusaha memberi sesuatu yang lebih dari apa yang jurnalis butuhkan. Tapi jangan sekali menyogok, dengan bentuk dan alasan apa pun. Karena sikap ini akan merusak dan sebetulnya merugikan kedua belah pihak. (hal. 171) Tidak terbantahkan, media memiliki peran sangat besar dan menentukan dalam melahirkan, bahkan menentukan “hidup dan mati” seseorang tokoh. Hanya lewat media, gagasan besar sang tokoh akan mampu menjangkau dan diterima banyak orang. Maka siapa pun yang bisa “mempersunting” media dialah pemenangnya! (Moh. Romadlon) Judul | : Media Darling Ala Jokowi | Penulis | : Retno Wulandari | Penerbit | : Gramedia Pustaka Utama | Tahun | : 2014 | Genre | : Sosial & Politik | Tebal | : 182 Halaman | ISBN | : 978-602-03-1162-3 |
|