Judul | : Pengantin Subuh | Pengarang | : Zelfeni Wimra | Penerbit | : Pena Publishing House | Tahun | : 2009 | Genre | : Kumpulan Cerpen | Tebal | : 200 Halaman | ISBN | : 978-602-843-606-9 |
Riwayat kumpulan cerpen belum tamat. Setidaknya itulah yang dapat diindikasikan oleh karya Zelfeni Wimra ini. Memang banyak penerbit mengisyaratkan preferensi pada novel, mengingat keluhan pembaca yang rata-rata tidak puas menyimak format kumpulan cerpen belaka. Barangkali ibarat album musik, tidak semua lagu cocok di pendengaran. Dalam sebuah forum di Goodreads Indonesia, para peminat buku menyatakan bahwa cerpen kerap kali terlalu singkat untuk dinikmati. Makin sempitlah celah yang tersedia untuk meloloskan himpunan cerita dan menerbitkannya dalam bentuk buku. Belajar dari Pengantin Subuh ini, kemungkinan besar pemuatannya di sejumlah media cetak (kecuali satu cerpen terakhir) menjadi faktor pemikat. Dengan kata lain, buah pena Zelfeni Wimra telah teruji di mata redaktur disertai penyesuaian untuk kalangan pembaca. Di samping itu, benang merah yang menjalinnya sangat terang yakni napas Minang yang kental dan relatif langka di tengah bertimbunnya buku-buku fiksi yang memotret kehidupan kota besar dan bahkan berbau gemebyar luar negeri. Boleh jadi, diksi yang dihadirkan dalam cerpen demi cerpen meruapkan aroma sastra kuat. Tetapi jangan merinding dulu, karena formatnya yang tidak berpanjang-panjang menjadikan semua itu enak disantap (setidaknya bagi saya pribadi). Tatkala membaca bunga rampai yang dibuka dengan Madrasah Lumut ini, berhamburan gagasan segar ihwal kosakata yang sempat mengering. Penulis menunjukkan kekayaan pengetahuan akan padanan, kalimat demi kalimat tidak pernah terasa usang. “Lalu tersenyumlah pada seluruh mata yang memandangmu. Karena bibir diberikan-Nya sebagai ladang bagi kita, tempat bertanam senyum dan zikir. Hidup mesti berlaba. Senyum termasuk laba yang harus dibagi-bagi. Sedang zikir, laba untuk dibawa mati. Tidak boleh ada kesia-siaan.." [hal. 3]. Penulis membahasakan ibadah, pergulatan batin, masalah kemanusiaan, dengan tenunan kata yang halus. Cukup banyak juga cerita yang menyoal adat, sistem matrilineal di tanah Minang, dan pernik-pernik lain yang memikat untuk diketahui lebih mendalam. Dari keduapuluh dua cerpen yang terhidang, kesan paling nyata ditorehkan oleh Induak Tubo, Menjelang Subuh, dan Yang Terbungkuk-bungkuk di Halaman. Temanya nyaris setali tiga uang, mempertanyakan para perantau yang seakan abai pada kampung halaman dan anak-anak muda yang nekat menempuh risiko di negeri orang sehingga orangtuanya menjalani hari tua sebatang kara. Pipik Tuai tak kalah spesial dengan cerita rakyatnya, meski tak jelas benar seperti apa dan yang bagaimana burung tersebut. Cerpen berbalut sastra sudah pasti bermain dengan perlambangan. Bunga dari Peking salah satunya, menyiratkan tanda tanya usai membaca. Begitu juga Orang Kampung Hilang. Poin teristimewa untuk cerpen Ketan Durian [hal. 123] dengan pamungkas yang menggetarkan hati, ketika seorang anak terpaksa mengorbankan kemanusiaan dan kenangan personal ayahnya karena tugas sebagai pamong praja. Mengingat cerpen-cerpen ini pernah mengisi media cetak dan ruangnya terbatas, ada kalanya akhir cerita terasa tergesa atau menggantung. Tetapi secara keseluruhan, kumpulan cerpen ini membangkitkan kenangan tersendiri akan tanah Malin Kundang dan Siti Nurbaya yang kerap ditebarkan pesonanya melalui buku-buku klasik terbitan Balai Pustaka. Pembaca dipertemukan dengan penggalan bahasa daerah seperti kengkeng, pambangkik biso, dan berisuak. Sebuah kumpulan cerpen yang berisi dan patut dikoleksi. (rini)
|